Sepenggal Kisah Tentang Ibu (2)

Jauharotul Farida,
TIGA TAHUN MENARIK ZAMAN

Seorang perempuan berjilbab yang sangat tegas bahkan dibanding lelaki sekalipun memimpin barisan mahasiswa baru pada 1989 di UIN Walisongo (dulu IAIN). Ia komandan resimen mahasiswa atau Menwa. Degup jantung mulai terpacu memikirkan adakah yang kurang pada seragam kami atau perlengkapan lain setiap komandan itu melakukan defile. Saya bagian dari mahasiswa baru itu.

Suasana tegang itu biasanya berlalu setelah satu-dua mahasiswa ditegur oleh kesalahan yang mungkin sepele. Tapi, yang sepele-sepele ini kadang suka bikin sebagian orang grogi dan melakukan kesalahan baru. Komandan Menwa kembali ke muka. Aman, pikirku, tapi tidak setelah itu. "Siapa yang cekikikan di belakang?!" Ia kembali masuk barisan. Mana mungkin ada yang tertawa, berdehem saja tak berani. Bagaimana bisa dia mendengar suara itu? Setiap komandan mungkin punya gimmick. Celakanya, setiap gimmick itu diterapkan, setiap itu pula selalu memacu jantung kami. Jauharotul Farida nama perempuan itu. Ia kakak tingkatku. Tiga tahun di atasku. Begitu aku mengenal dia pertama kali dalam kegiatan Ospek.

Dan waktu berlalu. Kami sering bertemu setelah itu sebagai sesama aktifis kampus. Aku di pers mahasiswa dan kelompok diskusi, sedang dia masih tetap menjadi senior di Menwa dan senat mahasiwa. Beberapa kali kami pernah berada dalam satu kelas kuliah. Suasana itu meluruhkan ketegangan sebelumnya. Bahkan kadang saling memperolok kejadian saat Ospek dulu.

Tapi, suasana kepolitikan Orde Baru memanggil kembali ketegangan antarkami. Saya memimpin barisan demonstrasi mengritik Pemerintah hampir setiap waktu sampai sering meninggalkan kuliah. Setiap pecah demo di kampus, perkuliahan juga bubar. Bukan ikut solidaritas, tetapi karena teriakan kami di ujung megaphone sambil berjalan-jalan di depan kelas mengacaubalaukan perkuliahan. Suara dosen seperti radio rusak saja. Kaca jendela yang tak rapat bergetar mengikuti amplitudo teriakan kami. Mahasiswa berhamburan keluar kelas, sebagian ingin menonton kami beraksi. "Mbok kalau demo jangan mengganggu kuliah," tegurnya suatu ketika. Hanya itu, dan tidak menelisik lebih jauh. Ternyata ketegangan kami hanya di soal ideologi, tidak pada persahabatan.

Dan waktu terus berputar. Dua puluh tahun kemudian seorang sahabat semasa kuliah menelepon saya dan menegur, gara-gara tidak mengangkat telepon dari seseorang. Katanya dari senior kami. "Ada apa, Gus?" Tanyaku pada Lukman Hakim, sahabatku. Yang kami bicarakan ternyata seorang perempuan yang pernah bikin jantung kami berdegup ketika Ospek dulu. Jauharotul Farida. Ya, Mbak Ida, panggilan akrabnya.

Saya menghubunginya. Suaranya tidak lagi lantang, cenderung parau. Ia mengidap cancer rectum stadium 4a. Penyakit yang berada beberapa inch di sekitar dubur. Ia harus memakai pampers nipas 13 kali dalam sehari. Setiap hari harus pup, kadang diikuti cucuran darah. Dokter memvonis usianya hanya sisa beberapa bulan kalau penyebarannya tak bisa diatasi. Sudah give up deh. Ia bercerita seperti saya seorang dokter saja.

Saya menyarankan terapi di luar medis. Salah satunya melalui metode balur di klinik kami. Ia mengikuti saran itu, dan memang untuk tujuan itu ia menelponku. Ia mengikuti terapi dengan disiplin. Tiga bulan yang kritis telah berlalu. Ia berhasil mengulur prediksi kematian itu. Penggunaan pampers mulai berkurang. Ia hanya memakai sekali sehari, itu pun untuk jaga-jaga. Ia kembali beraktifitas sebagai dosen dan aktifis perempuan. Suaranya kembali lantang. Dokter menyatakan ada perbaikan signifikan pada cancernya.

Tapi, janji perpisahan sudah terlanjur dibuat dengan suami dan ketiga anaknya sejak vonis itu. Janji di tempat yang sangat jauh tapi mulia. Mbak Ida ingin merajut kebersamaan di kota Makkah al Mukaromah dalam umroh dengan keluarga sebelum Tuhan memanggilnya. Tapi, dengan kesehatannya yang terus membaik, di kota itu ia merubah agenda pamitannya dengan pertemuan keluarga yang amat syahdu dan fully syukur. Ia menemukan kebahagiaan tak terperi. Ia kembali sehat dan merasa lebih baik dari sebelum cancer.

Tiga tahun ia menikmati eforia kebugaran itu dalam banyak kegiatan. Ia lupa satu hal, atau jangan-jangan bukan lupa, tetapi sadar telah memilih, karena dia yang paling bisa memahami tubuhnya, bahwa pasien yang pernah terkena cancer tak boleh memiliki aktifitas berlebihan, juga stress. Ia menabrak pakem itu. Merasa beraktifitas sosial adalah nyawa hidupnya, melebihi nyawa tubuhnya. Ia merasa hidup ketika beraktifitas.

Tiga bulan lalu ia datang lagi ke klinik kami dengan kegagahan tubuhnya yang mulai berkurang. Ia menyadari perlu banyak istirahat. Saya mengingatkan lagi masa-masa awal ketika dia mulai terapi. Membacakan chat saya dengan dia. Ada satu chat dia yang saya kini tercekat membacanya. Saya kutip seperti tulisan aslinya:

"Dg senang hati. Secara oral (krn saya tdk dpt menulis spt smpyn) saya selalu bagikan cerIta indah nikmatnya sakit saya. Di madinah, di makkah, di jamaah umroh, di majlis pengajian, di kls saat mengajar. di organisasi saat rapat dll. Kuasa Allah yg tdk terkira. Sama sekali tanpa sentuhan obat medis. Rasa pasrah tawakkal atas kehendakNya. Kematian pasti terjadi waktu dan caranya yg berbeda. Allah mengajari saya u siap menghadapinya dan syukur diberi warning olehNya."

"Sampai hari ini saya msh bertanya tanya. Apa benar stadium 4a sih. Kok banyak teman dan klg sdh menghawatirkan usia saya dg status 4a tsb. Apa mungkin salah ya.....  begitu dahsyatnya kuasa Allah atas kehendakNya."

Akhirnya kabar duka itu datang dari seorang sahabat, Kamis sore, 30 Mei 2019, kemarin:  Jauharotul Farida telah meninggal. Saya sempat terkejut. Membagika berita duka itu kepada dokter dan para terapis. Mereka berduka sangat dalam. Terbayang di pelupuk mata seseorang yang kukuh berpendirian memasuki ruang terapi pertama kali tiga tahun lalu. Kemudian sehat setelah itu, dan lunglai tiga bulan belakangan ini.

Innalilahi wainna ilaihi rojiun. Allah mungkin menginginkan dia lebih dekat dari hari kemarin dan seterusnya. Doa kami semoga husnul khotimah, dan anak-anak dan suaminya ditambah lagi ketabahannya hari ini dan nanti.

Selamat tinggal Kakakku. Tiga tahun engkau telah menarik zaman.

Salam dongeng!
Hasan Aoni, ODM



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Kasus Covid19 di Thailand?