Saya dan Santri
Hari ini, malam Peringatan Hari Santri sekaligus Resolusi Jihad. Bukan sekedar hari biasa, karena Saya dan Santri sudah saling mengenal satu sama lain sejak lama. Kalau dawuh Gus Mus, seorang Santri bukanlah hanya yang pernah mondok saja tetapi dia yang berakhlak seperti Santri. Lalu apakah saya sudah layak disebut sebagai seorang santri? Apakah karomah kyai-bunyai sudah saya dapatkan? Apakah ilmu saya sudah bermanfaat? Pertanyaan refleksi yang kemudian muncul di benak saya.
Hidup dan dibesarkan di lingkungan pesantren dan mengenal Santri-Santri dari berbagai kota di Indonesia sudah saya cicipi sejak masih kecil. Singkat cerita, liburan sekolah sejak 3 SD sering saya habiskan bersama kakak di pesantren kilat, dari pesantren yang diadakan sekolah sampai pondok pesantren yang berada di berada di Pedurungan, Mranggen, dan sebagainya. Kata Ibu, itu cara orang tua saya mengenalkan saya dengan pesantren sehingga saya tidak akan shock ketika nanti jauh dari orang tua. Ternyata, it works, dengan semangat melangkahkan kaki, saya dan kakak melanjutkan sekolah dari SD ke Pesantren di Kota Kediri. Perjalanan yang tidak dekat ditempuh setiap 3 bulan sekali bagi orang tua saya untuk menengok. To be honest, ternyata saat liburan pesantren, ada perasaan minder dengan teman-teman seangkatan dulu di SD. Tidak sedikit teman seperjuangan yang melanjutkan studi ke SMP dan SMA favourite dengan program akselerasi. "Bu, bah, si X udah SMA sekarang, aku masih kelas VII" begitu keluhanku setelah sempat adanya buka bersama dengan alumni SD dulu. Dengan bijaknya tentu orang tua saya menyampaikan hal yang membuat saya tenang dan dengan sampai sekarang, saya menyadari bahwa saya tidak pernah menyesal pernah hidup bersama Santri di Pondok Pesantren.
Kini, saya berada di Bangkok dan untuk pertama kalinya merasakan hidup yang sangat berbeda dengan kehidupan di Pondok Pesantren dan dengan Hari Santri ini, membuat saya flaskback bagaimana perjalanan hidup suka duka saya lebih dari 10 tahun ke belakang di pesantren. Bahstul Masail, Ro'an, Istighosah, Diba', antrian panjang kamar mandi, takziran, ataupun sakit mata berjamaah, dan berbagai kenangan lucu yang tidak akan ditemukan di luar pesantren.
Stigma terhadap santri yang lebih terbelakang dan tradisional dari siswa biasa kini perlahan sudah mulai terhapuskan. Tidak sedikit saya membaca kabar bahwa santri Indonesia dapat berkontribusi dari bermanfaat buat lingkungan sekitar dan bahkan dunia. Banyak juga yang kini telah menjadi pengusaha sukses, professor, ataupun da'i yang ceramahnya sangat memdamaikan hati. Kesempatanpun sudah terbuka sangat lebar untuk santri dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dengan bantuan beasiswa, baik ke Universitas Islam Negeri atau Universitas tinggi lainnya dan bahkan ke Timur Tengah, Eropa, Asia dan belahan dunia manapun.
Tentu, dimanapun santri berada, akhlak Santri dengan kultur pesantrennya harus terus di-dawamkan, sebagaimana yang selalu disampaikan bunyai saya bahwa Nabi bersabda “Sesungguhnya, aku diutus untuk memperbaiki akhlak”. Serta, seorang Santri Indonesia harus bisa menebarkan kedamaian, karena Islam Ramah bukan Marah sebagai aktualisasi dari Islam yang rahmatan lil'alamin.
Bangkok, 21 Oktober 2019
Tulisan refleksi untuk diri sendiri.
Boleh tahu dong, kenangan apa yang paling dirindakan semasa di pesantren kota kediri?
BalasHapusselamat hari santri, ustadz. semua moment di pesantren sangaaaat dirindukan tadz 😂 salah satunya bisa turun berat bedan drastis tanpa mikir diet wkwk
HapusSampai kapanpun kita tetap santri, semoga selalu diberikan kesehatan bagi guru-guru kita ❤️
BalasHapusaaamiinn, selamat hari santri ning
Hapus